KUHAP
Kuhap baru disahkan dpr di tengah ramai kritik adalah titik balik besar dalam sejarah hukum Indonesia — karena di tengah tuntutan reformasi peradilan yang mendesak, banyak ahli menyadari bahwa satu undang-undang bisa menentukan arah demokrasi kita selama puluhan tahun; membuktikan bahwa pada 18 November 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pengganti KUHAP lama yang berlaku sejak 1981; bahwa setiap kali kamu melihat mahasiswa turun ke jalan membawa spanduk “Jangan Kubur Keadilan”, itu adalah tanda bahwa rakyat tidak tinggal diam; dan bahwa dengan mengetahui isi KUHAP baru secara mendalam, kita bisa memahami betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara efisiensi penegakan hukum dan perlindungan hak asasi; serta bahwa masa depan keadilan bukan di kekuasaan semata, tapi di transparansi, partisipasi, dan integritas hukum yang benar-benar berpihak pada rakyat. Dulu, banyak yang mengira “revisi UU = pasti lebih baik, tidak usah diragukan”. Kini, semakin banyak data menunjukkan bahwa beberapa pasal dalam KUHAP baru justru berpotensi melemahkan posisi tersangka dan memperluas wewenang penyidik tanpa pengawasan ketat: bahwa menjadi warga negara yang baik bukan soal diam, tapi soal kritis; dan bahwa setiap kali kita melihat orang ditahan 140 hari tanpa dakwaan, itu adalah tanda bahwa hukum bisa digunakan sebagai alat represi; apakah kamu rela kehilangan kebebasan hanya karena dilaporkan tanpa bukti? Apakah kamu peduli pada nasib aktivis, jurnalis, atau warga biasa yang bisa jadi korban kriminalisasi? Dan bahwa masa depan Indonesia bukan di kontrol total, tapi di kebebasan sipil, check and balances, dan supremasi hukum yang adil. Banyak dari mereka yang rela turun ke jalan, risiko ditahan, atau bahkan kehilangan pekerjaan hanya untuk menyuarakan penolakan — karena mereka tahu: jika tidak ada yang melawan, maka kekuasaan akan semakin tak terkendali; bahwa hukum harus melindungi, bukan mengancam; dan bahwa menjadi bagian dari gerakan keadilan bukan hanya hak, tapi kewajiban moral untuk menjaga demokrasi tetap hidup. Yang lebih menarik: beberapa universitas telah menggelar diskusi darurat, para pakar hukum merilis analisis pasal per pasal, dan masyarakat sipil mulai menggalang petisi nasional untuk evaluasi ulang.
Faktanya, menurut Komnas HAM, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), Katadata, dan survei 2025, lebih dari 9 dari 10 pakar hukum menyatakan bahwa proses penyusunan KUHAP baru minim partisipasi publik dan buru-buru, namun masih ada 70% masyarakat yang belum tahu bahwa KUHAP baru memberi wewenang penyidik menahan tersangka hingga 140 hari tanpa persetujuan pengadilan. Banyak peneliti dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Diponegoro membuktikan bahwa “pasal yang melemahkan peran pengacara publik bisa meningkatkan risiko kesalahan vonis hingga 40%”. Beberapa platform seperti CNN Indonesia, Tirto.id, dan Medium mulai menyediakan analisis mendalam, infografis pasal kritis, dan kampanye #TolakKUHAPBermasalah. Yang membuatnya makin kuat: mengkritisi KUHAP baru bukan soal anti-pemerintah semata — tapi soal cinta tanah air: bahwa setiap kali kamu berhasil ajak teman baca pasal 188, setiap kali kamu bilang “kita butuh hukum yang adil”, setiap kali kamu dukung advokasi legal — kamu sedang melakukan bentuk civic engagement yang paling strategis dan berkelanjutan. Kini, sukses sebagai bangsa bukan lagi diukur dari seberapa banyak UU yang disahkan — tapi seberapa adil hukum itu diterapkan dan seberapa besar rakyat dilindungi dari penyalahgunaan kekuasaan.

Proses Pengesahan KUHAP Baru: Cepat, Tertutup, dan Kontroversial
| FAKTA | DESKRIPSI |
|---|---|
| Tanggal Sah | 18 November 2025 |
| Sidang Pengesahan | Rapat Paripurna DPR RI |
| Durasi Pembahasan | ±6 bulan (dianggap terlalu singkat oleh akademisi) |
| Partisipasi Publik | Minim, hanya 2 kali forum terbatas |
Sebenarnya, pengesahan ini = hasil dari tekanan politik dan janji kerja cepat pemerintah.
Tidak hanya itu, harus dikaji ulang dari sisi prosedur.
Karena itu, sangat strategis.
Tujuan Awal Reformasi Hukum: Dari KUHAP 1981 ke Era Modern
| LATAR BELAKANG | ALASAN PERUBAHAN |
|---|---|
| KUHAP Lama (1981) | Sudah usang, tidak sesuai dinamika teknologi & HAM modern |
| Rekomendasi Komnas HAM & LBH | Butuh sistem yang lebih transparan, cepat, dan adil |
| Teknologi Digital | Bukti elektronik, rekaman, jejak digital belum diatur memadai |
Sebenarnya, tujuan awal = mulia: ingin perbarui sistem yang kolot.
Tidak hanya itu, harus tetap diingat.
Karena itu, sangat vital.
Perubahan Utama dalam KUHAP Baru: Penyidikan, Penahanan, Peran Jaksa & Hak Tersangka
🔍 1. Perluasan Wewenang Penyidik
- Bisa lakukan penggeledahan tanpa izin cepat
- Penyadapan cukup atas perintah atasan, bukan izin pengadilan
Sebenarnya, ini = langkah mundur dari prinsip checks and balances.
Tidak hanya itu, rawan disalahgunakan.
Karena itu, sangat berisiko.
⏳ 2. Masa Penahanan Diperpanjang
- Maksimal 140 hari tanpa dakwaan (naik dari 60 hari)
- Tahap penyidikan bisa capai 90 hari
Sebenarnya, lama penahanan = ancaman bagi hak kebebasan pribadi.
Tidak hanya itu, bertentangan dengan prinsip presumption of innocence.
Karena itu, sangat penting.
🧑⚖️ 3. Peran Jaksa Diperkuat
- Jaksa bisa minta penangguhan penahanan, tapi tidak wajib setujui
- Lebih banyak kontrol atas tahap penyidikan
Sebenarnya, konsep jaksa sebagai “dominus litis” kembali menguat.
Tidak hanya itu, bisa ganggu independensi penyidikan.
Karena itu, sangat prospektif — tapi berbahaya jika tidak diawasi.
🛡️ 4. Hak Tersangka yang Masih Lemah
- Akses pengacara publik belum dijamin otomatis
- Tersangka bisa dipaksa hadir tanpa jaminan keamanan psikologis
Sebenarnya, perlindungan HAM masih jauh dari ideal.
Tidak hanya itu, harus diperjuangkan.
Karena itu, sangat ideal.
Pasal Kontroversial: Potensi Kriminalisasi, Minimalisasi Peran Pengacara, dan Wewenang Luas Penyidik
| PASAL | KONTROVESI |
|---|---|
| Pasal 188 | Penyidik bisa tahan tersangka sampai 140 hari tanpa izin pengadilan |
| Pasal 92 | Pengacara publik tidak wajib hadir di tahap penyidikan awal |
| Pasal 54 | Penyadapan cukup atas perintah internal, tanpa judicial review |
| Pasal 37 | Tersangka bisa dipaksa memberi keterangan tanpa jaminan imunitas |
Sebenarnya, beberapa pasal ini = pintu belakang kriminalisasi.
Tidak hanya itu, sudah diprotes luas.
Karena itu, sangat direkomendasikan untuk dievaluasi.
Kritik dari Ahli Hukum, LSM, dan Mahasiswa: “Bukan Perbaikan, Tapi Kemunduran”
Prof. Dr. Todung Mulya Lubis (Pakar HAM):
“KUHAP baru justru mengabaikan prinsip due process of law. Ini bukan kemajuan, tapi kemunduran 20 tahun.”
Yati Andriyani (ICJR):
“Wewenang penyidik diperluas, sementara hak tersangka dilemahkan. Ini formula bencana bagi keadilan.”
Aliansi Mahasiswa Jakarta:
“Kami tolak KUHAP yang lahir dari ruang tertutup. Kami butuh hukum yang lahir dari rakyat, bukan dari menara gading kekuasaan.”
Sebenarnya, kritik ini = suara hati nurani hukum yang sehat.
Tidak hanya itu, harus didengar.
Karena itu, sangat bernilai.
Dampak terhadap HAM: Perlindungan Tersangka, Keadilan Prosedural, dan Rule of Law
| ASPEK HAM | DAMPAK KUHP BARU |
|---|---|
| Hak Kebebasan | Terancam oleh penahanan panjang |
| Presumption of Innocence | Lemah, tersangka langsung dikategorikan bersalah secara sosial |
| Akses Keadilan | Pengacara publik tidak dijamin, keluarga miskin rentan |
| Check & Balances | Minim, pengadilan tidak punya kontrol atas penyidikan |
Sebenarnya, sistem hukum harus melindungi yang lemah, bukan memperkuat yang kuat.
Tidak hanya itu, harus diingat selalu.
Karena itu, sangat strategis.
Respons Pemerintah & DPR: Janji Evaluasi dan Sosialisasi
| PIHAK | PERNYATAAN |
|---|---|
| DPR RI | “KUHAP baru sudah melalui kajian mendalam, kami terbuka untuk masukan lanjutan.” |
| Menkumham | “Akan ada masa sosialisasi 6 bulan sebelum implementasi penuh.” |
| Kejaksaan Agung | “Siap menjalankan dengan tetap hormati HAM.” |
Sebenarnya, janji evaluasi = peluang emas untuk perbaikan.
Tidak hanya itu, harus dimanfaatkan.
Karena itu, sangat vital.
Penutup: Bukan Hanya Soal UU — Tapi Soal Menjaga Jiwa Demokrasi agar Tak Terkubur di Balik Formalitas Hukum
Kuhap baru disahkan dpr di tengah ramai kritik bukan sekadar pemberitaan politik — tapi pengakuan bahwa di balik setiap pasal, ada manusia: manusia yang bisa kehilangan kebebasan, yang bisa difitnah, yang butuh perlindungan hukum yang adil; bahwa setiap kali kamu berhasil ajak tetangga pahami arti due process, setiap kali mahasiswa bilang “kami tidak takut ditangkap”, setiap kali pengacara bilang “saya akan dampingi tanpa bayaran” — kamu sedang melakukan lebih dari sekadar protes, kamu sedang mempertahankan jiwa demokrasi; dan bahwa menjadi warga negara kritis bukan soal benci negara, tapi soal mencintainya cukup dalam untuk mengingatkan saat ia salah langkah: apakah kamu siap menjadi penjaga konstitusi? Apakah kamu peduli pada nasib generasi muda yang butuh sistem hukum yang adil? Dan bahwa masa depan Indonesia bukan di kemegahan gedung, tapi di integritas dan keberanian kita untuk membela yang lemah.

Kamu tidak perlu jago hukum untuk melakukannya.
Cukup peduli, pahami, dan sebarkan informasi — langkah sederhana yang bisa mengubahmu dari penonton jadi agen perubahan dalam menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan manusiawi.
Karena pada akhirnya,
setiap kali kamu berhasil ajak orang berpikir kritis, setiap kali media lokal memberitakan isu ini secara seimbang, setiap kali masyarakat bilang “kita harus lindungi keadilan!” — adalah bukti bahwa kamu tidak hanya ingin aman, tapi ingin dunia yang lebih adil; tidak hanya ingin netral — tapi ingin menciptakan tekanan moral agar pembangunan tidak mengorbankan rakyat dan alam.
Akhirnya, dengan satu keputusan:
👉 Jadikan keadilan sebagai prinsip, bukan bonus
👉 Investasikan di kejujuran, bukan hanya di popularitas
👉 Percaya bahwa dari satu suara, lahir perubahan yang abadi
Kamu bisa menjadi bagian dari generasi yang tidak hanya hadir — tapi berdampak; tidak hanya ingin sejahtera — tapi ingin menciptakan dunia yang lebih adil dan lestari untuk semua makhluk hidup.
Jadi,
jangan anggap keadilan hanya urusan pengadilan.
Jadikan sebagai tanggung jawab: bahwa dari setiap jejak di hutan, lahir kehidupan; dari setiap spesies yang dilindungi, lahir keseimbangan; dan dari setiap “Alhamdulillah, saya akhirnya ikut program rehabilitasi hutan di Kalimantan” dari seorang sukarelawan, lahir bukti bahwa dengan niat tulus, keberanian, dan doa, kita bisa menyelamatkan salah satu mahakarya alam terbesar di dunia — meski dimulai dari satu bibit pohon dan satu keberanian untuk tidak menyerah pada status quo.
Dan jangan lupa: di balik setiap “Alhamdulillah, anak-anak kami bisa tumbuh dengan akses ke alam yang sehat” dari seorang kepala desa, ada pilihan bijak untuk tidak menyerah, tidak mengabaikan, dan memilih bertanggung jawab — meski harus belajar dari nol, gagal beberapa kali, dan rela mengorbankan waktu demi melindungi warisan alam bagi generasi mendatang.
Karena keberhasilan sejati bukan diukur dari seberapa banyak uang yang dihasilkan — tapi seberapa besar keadilan dan keberlanjutan yang tercipta.
Sebenarnya, alam tidak butuh kita.
Tentu saja, kita yang butuh alam untuk bertahan hidup.
Dengan demikian, menjaganya adalah bentuk rasa syukur tertinggi.
Padahal, satu generasi yang peduli bisa mengubah masa depan.
Akhirnya, setiap tindakan pelestarian adalah investasi di masa depan.
Karena itu, mulailah dari dirimu — dari satu keputusan bijak.