Sindiran Donasi
Pernyataan Anggota Komisi I DPR RI, Endipat Wijaya, yang menyinggung donasi masyarakat sebesar Rp10 miliar kepada korban banjir di Sumatra dan membandingkannya dengan anggaran negara bernilai triliunan rupiah, memantik diskusi penting soal gaya komunikasi pejabat publik.
Ucapan tersebut muncul saat ia meminta Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) lebih aktif menyampaikan informasi pemerintah kepada publik. Namun, cara penyampaiannya justru menimbulkan kesan bahwa kontribusi masyarakat dianggap kecil dan tidak signifikan dibandingkan anggaran negara.
Di titik inilah masalah komunikasi publik pejabat negara menjadi sorotan.
1. Ketika Ungkapan โCuma Rp10 Miliarโ Menjadi Tidak Sensitif
Dalam konteks bencana, skala donasi bukan persoalan angka semata.
Sumbangan masyarakat merupakan bentuk solidaritas sosial yang lahir dari empati, bukan kewajiban fiskal seperti yang dimiliki negara.
Karena itu, menyebut donasi publik sebagai โcuma Rp10 miliarโ dapat dipahami publik sebagai bentuk meremehkan peran warga, terutama bagi mereka yang menyumbang dari keterbatasan ekonomi.
Padahal, kontribusi masyarakat memiliki fungsi sosial yang berbeda:
- sebagai dukungan moral,
- sebagai ekspresi gotong royong,
- dan sebagai respon spontan saat negara masih berproses.
Dalam komunikasi bencana, sensitivitas semacam ini penting.
Ucapan yang tidak mempertimbangkan emosi publik bisa menimbulkan persepsi negatif meski maksud aslinya berbeda.
2. Membandingkan Donasi Warga dengan Anggaran Negara: Dua Hal yang Berbeda
Negara memang memiliki anggaran triliunan rupiah untuk penanganan bencana. Itu kewajiban konstitusional dan bagian dari fungsi pemerintahan.
Sementara donasi masyarakat bersifat sukarela dan tidak pernah dimaksudkan sebagai โkompetisi kontribusiโ.
Karena itu, membandingkan keduanya dapat menciptakan kesan:
- kompetitif,
- defensif,
- atau bahkan mengabaikan peran masyarakat.
Dalam kacamata komunikasi publik, perbandingan seperti ini tidak hanya tidak tepat, tetapi berpotensi menimbulkan resistensi emosional.
Publik tidak ingin kontribusinya dibandingkan dengan anggaran negaraโapalagi disindir seolah โpaling-paling.โ
3. Risiko Framing: Narasi โNegara Sudah Hadir, Masyarakat Jangan Komplainโ
Pernyataan seperti ini mudah dipelintir oleh media sosial menjadi narasi defensif:
โNegara merasa paling berjasa, masyarakat dianggap kurang.โ
Dalam era digital, framing sangat menentukan persepsi.
Ketika pejabat publik menyampaikan kritik kepada pihak tertentu, publik bisa menangkapnya sebagai kritik kepada dirinya.
Ada dua risiko framing yang muncul:
a) Negara terlihat defensif
Ucapan yang menonjolkan โnegara sudah mengeluarkan triliunanโ bisa dipersepsikan sebagai bentuk pembelaan diri, bukan penjelasan informatif.
b) Masyarakat merasa disalahkan
Terlebih ketika donasi warga justru lahir dari keprihatinan dan dorongan gotong royong.
Padahal, yang dibutuhkan saat bencana adalah:
- kolaborasi,
- apresiasi,
- dan komunikasi persuasif,
bukan perbandingan kontribusi.
4. Pejabat Publik Perlu Menjaga Narasi Saat Bencana
Bencana adalah situasi sensitif.
Komunikasi pemerintah harus bersifat:
- empatik,
- faktual,
- menguatkan,
- dan tidak menimbulkan pertanyaan baru.
Komentar pejabat mudah menjadi viral, dan setiap kata dapat membentuk persepsi jangka panjang terhadap negara.
Dalam kasus ini, harapan masyarakat sederhana:
- pemerintah hadir,
- pejabat memberikan informasi jelas,
- dan kontribusi masyarakat dihargai.
Bukan dipertentangkan.
5. Komunikasi Publik Seharusnya Menguatkan Kepercayaan
Jika tujuannya adalah mengajak Komdigi memperbaiki komunikasi pemerintah, hal itu sah dan penting.
Namun, penyampaiannya perlu diarahkan pada:
- Transparansi penggunaan anggaran bencana
- Apresiasi terhadap solidaritas warga
- Kolaborasi pemerintahโmasyarakat
- Narasi yang menenangkan, bukan memicu reaksi emosional
Dalam teori komunikasi krisis, pejabat publik harus menghindari narasi yang dapat dianggap:
- menyalahkan publik,
- menggurui,
- atau membandingkan kontribusi.
Kesimpulan: Sensitivitas Bukan Sekadar Etika, Tapi Strategi Komunikasi
Pernyataan anggota DPR yang membandingkan donasi warga dengan anggaran pemerintah bukan hanya persoalan pilihan kata, tapi persoalan sensitivitas komunikasi publik.
Pejabat negara memegang peran simbolik:
kata-katanya dapat menguatkan masyarakat, atau justru menimbulkan kesan bahwa publik tidak diapresiasi.
Dalam konteks bencana, narasi yang paling dibutuhkan adalah:
- penghargaan terhadap solidaritas masyarakat,
- penjelasan akuntabel tentang peran pemerintah,
- dan ajakan kolaboratif.
Sebab, tanpa komunikasi yang empatik, pesan positif sekalipun bisa diterima publik sebagai hal negatif.